TOLERANSI LINTAS AGAMA
DALAM MEMBANGUN INDONESIA YANG HARMONIS DAN BERSAHAJA
Kerukunan berbangsa dan bernegara terusik oleh
hadirnya intoleransi dalam kehidupan beragama. Perusakan tempat ibadah umat
agama lain yang terjadi di banyak tempat menegaskan betapa toleransi lintas
agama masih menjadi barang mahal nun langka di negeri kita tercinta,
Indonesia. Terlepas apa yang menjadi motif perusakan itu, kita sepakat bahwa
tindakan tersebut seharusnya tidak terjadi di negeri yang menjunjung tinggi
kerukunan dalam beragama. Bukankah anarkisme –apalagi menyangkut agama yang
sangat sensitif– justru menahbiskan nafsu kebinatangan yang selaiknya dibuang
jauh-jauh dari benak manusia.
Sepertinya, kita perlu melirik falsafah –yang konon
milik– suku Bali (la’alla ash-shawāb). “Masjid adalah rumah kami,
namun digunakan oleh saudara kami yang beragama Islam.” Begitu sikap mereka
yang juga diterapkan kepada umat beragama selain Islam. Ungkapan di atas
menggambarkan betapa kerukunan antar umat beragama benar-benar terlihat dalam
keseharian mereka. Tidak ada sikap saling mencurigai apalagi saling mengintimidasi.
Justru, yang hadir di tengah-tengah kehidupan adalah kenyamanan dalam
keragaman. Inilah yang dalam istilah psikologi disebut ‘get comfortable in
paradox’. Sebuah kondisi jiwa yang mampu merasakan ketentraman meskipun
berada di tengah paradoksal kehidupan.
Berangkat dari paparan singkat di atas, dalam
kesempatan ini, izinkanlah kami membawakan pensyarahan Al-Qur’ān dengan judul:
“Toleransi Lintas Agama, dalam Membangun Indonesia yang Harmonis dan
Bersahaja”, dengan landasan Al-Qur’ān Surat al-An’ām [6] ayat 108 dan Surat
al-Mumtahanah [60] ayat 8.
Hadirin rahimakumullah,
Agama adalah perihal yang substansial dalam kehidupan
manusia. Sejak pertama terlahir ke dunia, manusia sudah terikat kontrak
ilahiyah untuk mengabdikan diri kepada Allāh SWT. Inilah yang menjadikan
manusia (selalu) mencari realitas kebenaran mutlak yang pada akhirnya akan
bertemu dengan Allāh SWT. Namun, dalam praktiknya tidak semua orang “diberi
hidayah” untuk memeluk Islam sebagai agama yang paling diridhai. Aneka agama
yang hadir di tengah-tengah kehidupan adalah bukti ketidaktunggalan hasil
pencarian agama masing-masing insan. Satu hal yang perlu diperhatikan dalam
konteks ini adalah kedewasaan sikap untuk tidak saling mencela sembahan umat
agama lain. Berkaitan dengan hal ini, Allāh SWT berfirman dalam surat al-An’ām
ayat 108 yang berbunyi:
Artinya: “Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang
mereka sembah selain Allāh, karena mereka nanti akan memaki Allāh dengan
melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, Kami Jadikan setiap umat
menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka,
lalu Dia akan Memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan.”
(QS. al-An’ām [6]: 108)
Hadirin rahimakumullah,
Mengenai ayat di atas, Ibnu Katsīr menjelaskan bahwa
Allāh melarang umat Islam untuk memaki tuhan orang-orang musyrik walaupun ada
nilai kemaslahatan dalam makian tersebut. Sebab, akan terdapat mafsadah/kerusakan
yang lebih besar yaitu sikap mereka yang memaki Tuhan orang-orang yang beriman.
Dengan adanya larangan tersebut, sikap saling menghargai antar pemeluk agama
seharusnya ditampilkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Banyak perkara
yang lebih besar yang sebenarnya dapat diselesaikan bersama, dengan
mengesampingkan latar belakang agama.
Tidak dapat dimungkiri bahwa Allāh memerintahkan umat
Islam untuk mengambil jarak demarkatif dengan non-muslim. Betapapun demikian,
menurut al-Ustādz asy-Syahīd Sayyid Quthb dalam kitabnya at-Tafsīr fi
Zhilālil Qurān, Allāh juga mengajarkan kepada umat Islam agar dalam
mengambil jarak tersebut dilakukan dengan beradap, penuh wibawa, dan penuh
harga diri. Hal ini adalah suatu sikap yang sesuai dengan statusnya sebagai
orang-orang yang beriman. Dalam konteks ini, nilai persamaan sebagai manusia
lebih dikedepankan. Sementara, agama boleh dikesampingkan dalam hubungan sosial
karena agama adalah wilayah individual.
Toleransi lintas agama adalah syarat mutlak untuk
menjalin kerukunan di tengah kehidupan bangsa yang beraneka ragam. Pluralitas
sendiri sebenarnya adalah sebuah keniscayaan yang sengaja diciptakan oleh Allāh
SWT. Dengan adanya keragaman, khususnya dalam masalah agama, kedewasaan sikap
menjadi tuntutan utama. Sebab, jika hal itu diabaikan maka akan menimbulkan
kekacauan (chaos) yang justru merusak tatanan kehidupan. Dengan hadirnya
toleransi –yang dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah tasāmuh–, umat
beragama dapat hidup rukun berdampingan.
Hadirin rahimakumullah,
Islam adalah agama yang diturunkan kepada seluruh umat
manusia. Islam menjadi rahmat bagi semua manusia dan semesta alam. Artinya,
nilai-nilai kasih sayang dalam Islam tidak hanya diperuntukkan bagi umat Islam an
sich. Lebih dari itu, Islam adalah agama yang sejak awal bertujuan
menciptakan perdamaian dunia. Sikap saling menolong (ta’āwun), apalagi
menyangkut kemaslahatan bersama, bukanlah hal mustahil untuk dilakukan. Potret
kehidupan yang rukun –antara umat Islam dan non-muslim– ketika Nabi Muhammad
SAW hidup di Madinah menjadi preseden terbaik untuk mengaplikasikan nilai
kerahmatan Islam.
Islam sebenarnya membuka “keran” yang lebar bagi
umatnya untuk berbuat baik kepada umat agama lain. Betapapun agama mereka
berlainan, namun mereka tetaplah makhluk ciptaan Tuhan yang berhak atas
perlakuan baik selama hidup di dunia. Justru, ketika umat Islam bersikap
“sinis” kepada mereka akan menciderai substansi Islam itu sendiri. Islam tidak
menginginkan orang memeluk agama karena faktor keterpaksaan. Bukankah sudah
jelas bahwa tidak ada paksaan dalam beragama. Berkaitan dengan hal ini, marilah
kita simak firman Allāh dalam surat al-Mumtahanah [60] ayat 8, yang berbunyi:
Artinya: “Allāh tidak melarang kamu berbuat baik
dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama
dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allāh Mencintai
orang-orang yang berlaku adil.” (QS. al-Mumtahanah [60]: 8)
Hadirin rahimakumullah,
Dalam Tafsir al-Jalālain secara singkat
diartikan bahwa dhamīr “hum” dalam ayat di atas bermakna “al-kuffār”
(orang-orang kafir).
لاَ يَنْهَاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِي الدِّيْنِ وَلَمْ
يُخْرِجُوْكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ: أَيْ لَا يَنْهَاكُمْ عَنِ الْإِحْسَانِ إِلَى
الْكَفَرَةِ الَّذْيِنَ لَا يُقَاتِلُوْنَكُمْ فِي الدِّيْنِ وَلَمْ يُظَاهِرُوْا
أَيْ يُعَاوِنُوْا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ كَالنِّسَاءِ وَالضعفَةِ مِنْهُمْ
Demikian Ibnu Katsir menerangkan dalam kitab tafsirnya.
Maksudnya adalah, (Allāh) tidak melarang umat Islam untuk berbuat baik kepada
orang-orang kafir yang tidak berniat membunuh dalam agama dan tidak
bersekongkol untuk mengusir umat Islam. Sebagai gambarannya dapat kita cermati dalam kisah
berikut. Asma’ binti Abu Bakar ash-Shiddīq menceritakan bahwa ibunya –yang
ketika itu masih musyrikah– berkunjung kepadanya, maka ia pergi menemui
Rasulullah bertanya: “Bolehkah saya menjalin hubungan dengan ibu saya?”
Nabi (kemudian) menjawab: “Ya! Jalinlah hubungan baik dengannya.” (HR.
Bukhari-Muslim)
Kata tabarrūhum (تَبَرُّوْهُمْ) dalam ayat
di atas, menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah, berasal dari kata
“al-birr” yang artinya adalah ‘kebajikan yang luas’. Dataran yang terhampar di
persada bumi ini dinamai “bar”, karena luasnya. Dengan pemahaman tersebut,
tercermin izin (justifikasi) melakukan aneka kebajikan bagi non-muslim, selama
tidak membawa dampak buruk bagi umat Islam. Sebagai penegasan, ternyata Islam
membukan jalan untuk berbuat ihsān kepada non-muslim. Kebaikan yang
dapat dilakukan sangatlah beragam sebagaimana penjelasan semantik di atas.
Dengan kebaikan yang disebarluaskan tersebut, toleransi akan dapat pula
terwujudkan.
Selanjutnya, kata tuqsithū (تُقْسِطُوْا), berasal
dari kata al-qisth, yang berarti adalah ‘adil’. Masih merujuk goresan
tinta Quraish Shihab, pakar tafsir dan hukum, Ibnu ‘Arabi sampai kepada
simpulan: “Tidak melarang kamu memberi (se)bagian dari harta kamu kepada
mereka.” Pertolongan yang boleh diberikan kepada non-muslim tidak hanya
berupa bantuan moril, tetapi dapat berbentuk materiil. Hal ini semakin membuka
jalan untuk bersama-sama berjuang mengentaskan kemiskinan bangsa. Lebih dari
itu, konsepsi ini berdampak positif terhadap kebersatuan bangsa dalam
menciptakan perekonomian yang adil dan berimbang.
Hadirin rahimakumullah,
Pentingnya membangun bangsa yang harmonis dan
bersahaja seharusnya menjadi kesadaran seluruh elemen bangsa. Dimana hal ini
baru dapat diwujudkan ketika seluruh elemen bangsa dapat berjabat-erat,
bersatu-padu, bergandengan-tangan, mewujudkannya dalam kehidupan bangsa yang
ber-bhinneka tunggal ika. Sekat agama yang seringkali dijadikan pembatas
ekstrim hendaknya dihindarkan untuk kebaikan bersama demi kemajuan bangsa.
Dengan demikian, Indonesia akan benar-benar menjadi bangsa yang harmonis dan
bersahaja. Harmonis adalah arti hadirnya kerukunan di tengah keberagaman.
Bersahaja dalam pengertian, berpegang teguh terhadap moralitas dan patut
menjadi teladan bagi bangsa lainnya.
Mengutip apa yang dituliskan oleh Marwan Ja’far dalam
sebuah opini di Harian Republika. “Kita perlu kembali pada prinsip umum
ajaran Islam (maqāshid al-syarī’ah) tentang eksistensi agama lain, yakni
pengakuan terhadap nilai-nilai kemanusian dan keabsahan de facto dan de
jure sebagai bagian integral dari sebuah komunitas. Hubungan muslim dan
pemeluk agama lain wajib dipandang sebagai anggota yang memiliki tanggung jawab
terhadap keutuhan komunitas.” Dalam konteks ini, toleransi bukan lagi
menjadi sesuatu yang dirindukan namun sudah menjadi bagian kehidupan bangsa.
Dengan demikian maka keharmonisan dalam kehidupan beragama akan terwujudkan.
Hadirin rahimakumullah,
Simpulan yang dapat kita petik dari pensyarahan
Al-Qur’ān di atas adalah sebagai berikut. Pertama, di tengah kehidupan
bangsa yang plural, toleransi menjadi pijakan utama untuk merajut persatuan dan
kesatuan. Ketika toleransi hilang dari tengah-tengah kehidupan maka yang
terjadi adalah sikap saling mencurigai yang berimbas pada ketidaknyamanan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua, toleransi (tasāmuh)
dalam konteks agama Islam adalah bagian dari cara untuk membumikan nilai
kerahmatan Islam kepada semesta alam. Ketika hal ini dapat terwujudkan maka
kedamaian (peace) di bumi tercinta Indonesia akan menjadi sajian utama.
Sebagai penutup, jika toleransi lintas agama dapat
terjalin, impian untuk hidup di tengah bangsa yang harmonis dan bersahaja insyā
Allāh akan segera terwujudkan. Semoga Allāh memberikan kekuatan dan rahmat-Nya
kepada kita. Āmīn ya Mujība du’āi as-sāilīn. []
Wallāhu al-muwaffiq ila aqwami ath-tharīq. Wa huwa
al-hādiy ila shirāthil mustaqīm.
Keterangan: Naskah boleh digunakan untuk kepentingan apapun,
khususnya Musābaqah Syarhil Qur’ān dengan mencantumkan sumbernya. Jazakumullāh…
loading...