PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP SEJARAH

A.     PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP SEJARAH
 PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP SEJARAH

Pengertian sejarah sekarang ini, yang setelah dilihat secara umum dari para ahli ialah memiliki makna sebagai cerita, atau kejadian yang benar-benar telah terjadi pada masa lalu. Kemudian, disusul oleh Depdiknas yang memberikan pengertian sejarah sebagai mata pelajaran yang menanamkan pengetahuan dan nilai-nilai mengenai proses perubahan dan perkembangan masyarakat Indonesia dan dunia dari masa lampau hingga kini(Depdiknas,2003:1).Namun, yang jelas kata kuncinya bahwa sejarah merupakan suatu penggambaran ataupun rekonstruksi peristiwa, kisah, maupun cerita, yang benar-benar telah terjadi pada masa lalu. Pada umumnya, para ahli sepakat untuk membagi peranan dan kedudukan sejarah yang terbagi atas tiga  hal, yakni sejarah sebagai peristiwa, sejarah sebagai ilmu, sejarah sebagai cerita (Ismaun, 1993:277).

1.                 Sejarah Sebagai Peristiwa
Adalah sesuatu yang terjadi pada masyarakat manusia di masa lampau. Para ahli pun mengelompokkan  sejarah agar dapat memudahkan kta untuk memahaminya yaitu:
a)  Pembagian sejarah secara sistematis, yaitu pembagian sejarah atas beberapa tema. Contoh : sejarah sosial, politik, sejarah kebudayaan,  sejarah perekonomian, sejarah agama, sejarah pendidikan, sejarah kesehatan, sejarah intelektual, dan sebagainya.
b)  Pembagian sejarah berdasarkan periode waktu. Contoh: sejarah Indonesia, dimulai dari zaman prasejarah, zaman pengaruh Hindu-Buddha, zaman pengaruh Islam, zaman kekuasaan Belanda, zaman pergerakan nasional, zaman pendudukan Jepang, zaman kemerdekaan, zaman Revolusi Fisik, Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi.
c)  Pembagian sejarah berdasarkan unsur ruang. Dalam sejarah regional dapat menyangkut sejarah dunia, tetapi ruang lingkupnya lebih terbatas oleh persamaan  karakteristik,  baik  fisik  maupun  sosial  budayanya.Contoh  Sejarah   Eropa,   sejarah   Asia,   Tenggrara,   sejarah   Afrika     Utara,dan sebagainnya

Sejarah sebagai peristiwa sering pula disebut sejarah sebagai kenyataan dan serba objektif (Ismaun, 1993:279)Artinya, peristiwa-peristiwa tersebut benar-benar terjadi dan didukung oleh evidensi-evidensi yang menguatkan, seperti berupa saksi mata(witness) yang dijadikan sumber-sumber sejarah (historical sources), peninggalan-peninggalan (relics atau remains), dan catatan-catatan (records)(Lucey, 1984:27). Selain itu, dapat pula peristiwa itu diketahui dari sumber-sumber yang bersifat lisan yang disampaikan dari mulut ke mulut. Menurut Sjamsudin (1996:78), ada dua macam sumber lisan. Pertama, sejarah lisan (oral history), contohnya ingatan lisan (oral reminiscence), yaitu ingatan tangan pertama yang dituturkan secara lisan oleh orang-orang yang diwawancarai oleh sejarawan. Kedua, tradisi lisan (oral tradition), yaitu narasi dan deskripsi dari orang-orang dan peristiwa-peristiwa pada masa lalu yang disampaikan dari mulut ke mulut selama beberapa generasi.

2.                 Sejarah Sebagai Ilmu


Sejarah dikategorikan sebagai ilmu karena dalam sejarah pun memiliki “batang tubuh keilmuan” (the body of knowledge), metodologi yang spesifik. Sejarah pun memiliki struktur keilmuan tersendiri, baik dalam fakta, konsep, maupun generalisasinya (Banks,1977:211-219;Sjamsuddin, 1996:7-19). Kedudukan sejarah di dalam ilmu pengetahuan digolongkan ke dalam beberapa kelompok.

a)    Ilmu Sosial, karena menjelaskan perilaku sosial. Fokus kajiannya menyangkut proses-proses sosial(pengaruh timbal balik antara kehidupan aspek sosial yang berkaitan satu sama lainnya) beserta perubahan-perubahan sosial.
b)  Seni atau art. Sejarah digolongkan dalam sastra. Herodotus (484-425SM) yang digelari sebagai :Bapak Sejarah” beliaulah yang telah memulai sejarah itu sebagai cerita (story telling), dan sejak saat itu sejarah telah dimasukkan ke dalam ilmu-ilmu kemanusiaan atau humaniora (Sjamsuddin,1996:189-190). Sejarah dikategorikan sebagai ilmu humaniora, terutama karena dalam sejarah memelihara dan merekam warisan budaya serta menafsirkan makna perkembangan umat manusia. Itulah sebabnya dalam tahap historigrafi dan eksplanasinya, sejarah memerlukan sentuhan-sentuhan estetika atau keindahan (Ismaun, 1993:282-283).

3.                 Sejarah Sebagai Cerita
Dalam sejarah sebagai cerita merupakan sesuatu karya yang dipengaruhi oleh subjektivitas   sejarawan.   Artinya,   memuat   unsur-unsur   dari   subjek,   si  penulis /sejarawan sebagai subjek turut serta mempengaruhi atau memberi “warna”, atau “rasa” sesuai dengan “kacamata” atau selera subjek (Kartodirdjo, 1992:62). Dilihat dari ruang lingkupnya, terutama pembagian sejarah secara tematik, Sjamsuddin (1996: 203-221) dan Burke (2000:444) mengelompokkannya dalam belasan jenis sejarah, yaitu sejarah sosial; sejarah ekonomi; sejarah kebudayaan; sejarah demografi; sejarah politik; sejarah kebudayaan rakyat; sejarah intelektual; sejarah keluarga; sejarah etnis; sejarah psikologi dan psikologi histori; sejarah pendidikan; sejarah medis.

B.      METODE DAN ILMU BANTU SEJARAH

Secara sederhana, Ismaun (1993: 125-131) mengemukakan bahwa dalam metode sejarah meliputi (1) heuristic (pengumpulan sumber-sumber); (2) kritik atau analisis sumber (eksternal dan internal); (3) interpretasi; (4) historiografi (penulisan sejarah). Sjamsuddin (1996: 68-69) merinci ada tujuh kriteria yang dipersyaratkan sebagai sejarawan, sebagai berikut.

  1. Kemampuan praktis dalam mengartikulasi dan mengekspresikan pengetahuannya secara menarik, baik secara tertulis maupun lisan.
  2. Kecakapan membaca dan atau berbicara dalam satu atau dua bahasa asing atau daerah.
  3. Menguasai satu atau lebih disiplin kedua, terutama ilmu-ilmu sosial lain, seperti antropologi, sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi, atau ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora), seperti filsafat, seni atau sastra, bahkan kalau mungkin relevan juga yang berhubungan dengan ilmu-ilmu alam.
  4. Kelengkapan dalam penggunaan pemahaman (insight) psikologi, kemampuan imajinasi, dan empati.
  5. Kemampuan membedakan antara profesi sejarah dan sekadar hobi antikuarian, yaitu pengumpulan benda-benda antik.
  6. Pendidikan yang luas (broad culture) selama hidup sejak dari masa kecil.
  7. Dedikasi pada profesi dan integritas pribadi, baik sebagai sejarawan peneliti maupun sebagai sejarawan pendidik.
Selanjutnya, dikemukakan pula oleh Gray (1964:9) bahwa seorang sejarawan minimal memiliki enam tahap dalam penelitian sejarah.
  1. Memilih suatu topik yang sesuai.
  2. Mengusut semua evidensi atau bukti yang relevan dengan topik
  3. Membuat catatan-catatan penting dan relevan dengan topik yang ditemukan  ketika penelitian diadakan.
  4. Mengevaluasi secara kritis semua evidensi yang telah dikumpulkan atau melakukan kritik sumber secara eksternal dan internal
  5.  Mengusut hasil-hasil penelitian dengan mengumpulkan catatan fakta-fakta secara sistematis.
  6. Menyajikannya dalam suatu cara yang menarik serta mengomunikasikannya kepada para pembaca dengan menarik pula.
Sedangkan sebagai ilmu bantu dalam penelitian, sejarah terdiri atas hal-hal berikut
  1. Paleontologi, yaitu ilmu tentang bentuk-bentuk kehidupan purba yang pernah ada di muka bumi, terutama fosil-fosil.
  2. Arkeologi, yaitu kajian ilmiah mengenai hasil kebudayaan, baik dalam periode prasejarah maupun periode sejarah yang ditemukan melalui ekskavasi-ekskavasi di situs-situs arkeolog.
  3. Paleoantropologi, yaitu ilmu tentang manusia-manusia purba atau antropologi ragawi
  4. Paleografi, yaitu kajian tentang tulisan-tulisan kuno, termasuk ilmu membaca dan penentuan waktu,tanggal,tahun
  5. Epigrafi, yaitu pengetahuan tentang cara membaca, menentukan waktu, serta menganalisis tulisan kuno pada benda-benda yang dapat bertahan lama (batu, logam, dan sebagainya).
  6. Ikonografi, yaitu arca-arca atau patung-patung kuno sejak zaman prasejarah maupun sejarah.
  7. Numismatik, yaitu tentang ilmu mata uang, asal usul, teknik pembuatan, dan mitologi.
  8. Ilmu keramik, kajian tentang barang-barang untuk tembikar dan porselin.
  9. Genealogi, yaitu pengetahuan tentang asal usul nenek moyang atau asal mula keluarga seseorang maupun beberapa orang.
  10.  Filologi, yaitu ilmu tentang nasakah-nasakah kuno
  11. Bahasa, yaitu penguasaan tentang beberapa bahasa, baik bahasa asing maupun bahasa daerah yang diperlukan dalam penelitian sejarah.
  12. Statistik, adalah sebagai presentasi analisis dan interpretasi angka-angka terutama dalam quantohistory atau cliometry.
  13. Etnografi, merupakan kajian bagian antropologi tentang deskripsi dan analisis kebudayaan suatu masyarakat tertentu.

C.     TUJUAN DAN KEGUNAAN SEJARAH

Secara rinci dan sistematis, Notosusanto (1979:4-10) mengidentifikasi empat jenis kegunaan sejarah, yakni fungsi edukatif, fungsi inspiratif, fungsi instruktif, dan fungsi rekreasi.

1.                 Fungsi Edukatif


Artinya, bahwa sejarah membawa dan mengajarkan kebijaksanaan ataupun kearifan-kearifan.Hal itu dikemukakan dalam ungkapan John Seeley yang mempertautkan masa lampau dengan sekarang, we study history, so that we may be wise before the event. Oleh karena itu, penting pula ungkapan-ungkapan, seperti belajarlah dari sejarah atau sejarah mengajarkan kepada kita.

2.                 Fungsi Inspiratif
Artinya, dengan mempelajari sejarah dapat memberikan inspirasi atau ilham.Dan juga, sejarah dapat memberikan spirit dan moral.Menurut spiritual Prancis Henry Bergson sebagai elan vital, yaitu sebagai energi hidup atau daya pendorong hidup yang memungkinkan segala pergerakan dalam kehidupan dan tindak tanduk manusia.

3.                 Fungsi Instruktif
Bahwa dengan belajar sejarah dapat berperan dalam proses pembelajaran pada salah satu kejuruan atau keterampilan tertentu, seperti navigasi, jurnalistik, senjata/militer, dan sebagainya.

4.                 Fungsi Rekreasi
Artinya, dengan belajar sejarah dapat memberikan rasa kesenangan maupun keindahan. Seorang pembelajar sejarah dapat terpesona oleh kisah sejarah yang mengagumkan atau menarik perhatian membaca, baik itu berupa roman maupun cerita-cerita peristiwa lainnya. Selain itu, sejarah dapat memberikan kesenangan lainnya, seperti “pesona perlawatan” yang dipaparkan dan digambarkan kepada kita melalui berbagai evidensi dan imaji. Sebab dengan mempelajari berbagai peristiwa menarik di berbagai tempat negara dan bangsa, kita ibarat berwisata ke berbagai negara di dunia.

D.     SEJARAH PERKEMBANGAN SEJARAH

Sejarah merupakan salah satu disiplin ilmu tertua. Pada abad ke-17 dan ke-18, sejarah secara formal diajarkan di universitas-universitas Eropa mulai dari Oxford University hingga Gottingen (Gilbert,1977).Tulisan-tulisan sejarah di Eropa, pertama kali muncul dalam bentuk puisi, yaitu Homerus (Homer)  dengan karyanya Iliad dan Odyssey. Syair Iliad menceritakan tentang perang Yunani dengan Troya tahun 1200 SM. Sedangkan syair Odyssey menceritakan tentang petualangan Odysseus setelah jatuhnya kota Troya.Penulis sejarah Yunani yang terkenal adalah Herodotus (198-117 SM), Thuydides (456-396 SM), dan Polybius (198-117 SM). Herodotus menulis karyanya yang berjudul History of the Persian Wars (Sejarah Perang-Perang Persia 500-479 SM), ia melihatnya perang ini sebagai bentrokan antardua peradaban berbeda, yaitu Yunani dan Persia. Lain halnya dengan Thucydides yang menulis tentang The Peloponnesian War (Perang Peloponesia, 431-404 SM), kisah yang merupakan perang saudara antara dua polis, yakni Athena dan Sparta.Polybius lebih dikenal sebagai penulis yang mengkaji tentang perpindahan kekuasaan dari tangan Yunani ke Romawi. Historiografi Romawi pada mulanya masih menggunakan bahasa yunani, baru kemudian memakai bahasa Latin, tetapi tulisan sejarah Yunani tetap menjadi model. Beberapa penulis sejarah Romawi adalah Julius Caesar (100-44 SM), seorang jenderal yang menaklukan Gaul dan bukunya Commentaries on Gallic Wars, mengisahkan tentang suku Gallia, Sallustius (86-34 SM), terkenal dengan monografinya berjudul History of Rome, Conspiracy of Catilinr, dan Jugurthine War. Livius (59 SM-17 M), sebagai narrator yang sering  mengorbankan kebenaran demi retorika. Sedangkan Tacitus (55-120), menulis tentang Annals Histories dan Germania. Kemudian pada zaman Kristen Awal, seperti tulisan Agustine (354-430) yang berjudul The City of God adalah filsafat sejarah Kristen yang bertumpu pada agama dan supernaturalisme yang tidak dapat dipisahkan. Beberapa penulis lainnya, seperti Africanus (180-250 M) dengan karyanya Chronographia yang mengisahkan tentang penciptaan yang mengambil dari Yahudi, Yunani, dan Romawi. Eusebius (260-340 M), menulis Chronicle dan Chruch History yang memisahkan antara kelompok sacred, yaitu Yahudi, Kristen, dan profane, yaitu pagan atau kafir. Kemudian Orosius (380-420 M), dikenal sebagai penulis Seven Books Against the Pagans, merupakan pembelaan atas peradaban Kristen yang dituduh menyebabkan runtuhnya Romawi memang sudah kehendak Tuhan (Kuntowijoyo, 1999:42). Sedangkan pada zaman Kristen Pertengahan, terdapat beberapa nama, seperti Marcus Aurelius Casiodorus (480- 570), Procopius (500-565), Gregory atau Bishop Tours (538-594), dan Venerable Bede (672-735). Di antara nama-nama tersebut, Bede yang menulis Ecclesiastical History of the English People, yang terbentuknya kebudayaan Anglo-Saxon.Pada zaman Rasionalisme dan Pencerahan, Sejarawan Rene Descartes (1596-1650) dari Prancis, Frasncis Bacon (1561-1626) dari Inggris, dan Baruch Spinoza (1632- 1677) dari Belanda,mereka banyak memengaruhi historiografi abad ke-18. Terdapat tiga aliran yang berkembang pada zaman itu, yaitu aliran radikal yang dipelopori oleh Voltaire, aliran moderat dipimpin oleh Montesquieu, dan aliran sentimental yang dipelipori oleh J.J. Rousseau (Kuntowijoyo, 1999:48). Secara periodik, ilmu sejarah memang sudah berlangsung sejak lama dan terminologi sejarah pun sudah amat tua, khususnya sejak zaman Yunani Kuno. Sebab mengenai catatan-catatan masa lalu, khususnya masa lalu tentang bangsanya sendiri, negaranya sendiri, memang merupakan suatu aktivitas yang sudah lazim dalam dunia pengetahuan, dan hagiografi (riwayat hidup dan legenda orang-orang yang dianggap suci) penulisannya senantiasa didorong oleh mereka yang berkuasa. Akan tetapi, yang membuat disiplin baru ilmu sejarah itu  berbeda adalah sejak dikembangkan penekanan pada wie es eigentlich gewesen „apa yang nyata-nyata terjadi‟ oleh Leopod von Ranke (1795-1886) pada abad ke-19 dengan karyanya A Critique of Modern Historical Writers. Ranke menganjurkan supaya sejarawan menulis apa yang sebenarnya terjadi sebab periode sejarah itu akan dipengaruhi oleh semangat zamannya. Lebih ekstrem lagi, penulisan sejarah pada waktu itu kebanyakan tentang penciptaan kisah-kisah yang dibayangkan atau dilebih-lebihkan sehingga bersifat retoris karena kisah-kisah yang semacam itu hanya menyanjung-nyanjung pembaca meupun melayani tujuan-tujuan yang mendesak bagi para penguasa ataupun kelompok-kelompok yang  berkuasa lainnya (Wallerstein, 1997:23).Lalu,para sejarawan, seperti Robinson,  Becker, dan Tilly mendesak perlunya The New History „Sejarah Baru‟ sebagai pengaruh pesatnya perkembangan ilmu-ilmu sosial. Para peminat ilmu sejarah dapat menyaksikan  dua  kebangkitan  kembali  unsur  lama  dalam  ilmu  sejarah, yakni kebangkitan kembali politik dan narasi. Sejak lama, sejumlah besar sejarawan memang menghendaki dimasukkannya kembali tinjauan politik ke dalam ilmu sejarah. Kondisi keilmuan pada tahun 1980-an dan 1990-an tampaknya mendukung hal itu, setelah terkikisnya determinisme yang sebelumnya selalu dikaitkan dengan strategi dan taktik politik sempit. Sejarah politik pun berkembang lagi, bahkan mencakup hal-hal baru, termasuk apa yang oleh Michel Foucault disebut mikropolitik. Strategi dan taktik politik yang dibahas  bukan hanya yang berskala negara, namun dalam komunitas yang lebih  kecil, seperti desa ataupun kampung. Sejarah diplomatik yang semula berfokus pada negara pun, sejak itu melebar dan mencakup berbagai hal-hal baru, seperti mentalitas dan ritual. Kebangkitan politik relatif lancar daripada kebangkitan narasi yang sering menyulut kontroversi setelah dahulu terdesak aliran baru yang dipimpin mazhab Annales. Istilah kebangkitan narasi pun sering disalahtafsirkan. Sama halnya dengan para antropolog dan sosiolog, kini para sejararawan secara terang- terangan mempermasalahkan hubungan antara peristiwa dan struktur, di mana struktur dapat bersifat sosial dan kultural. Paparan naratif dalam bentuk yang baru lebih beraneka ragam, dimunculkan kembali karena ada sejumlah sejarawan yang menyadari perlunya penggunaan retorika,eksperimen, dan kombinasi antara fakta dan fiksi untuk meningkatkan daya tarik (White, 1978). Salah satu bentuknya yang menonjol adalah narasi mengenai peristiwa-peristiwa berskala kecil, dengan menggunakan sebuah teknik pemaparan yang lazimnya dipakai para ahli sejarah mikro. Hal itu berlawanan dengan Grand Naratif yang menekankan peristiwa- peristiwa kunci dan tahun-tahun baku, seperti 1492,1789,1914,1945, dan seterusnya. Bentuk lain kemunculan narasi adalah berkembangnya paparan  sejarah yang diceritakan dari sudut pandang majemuk untuk mengakomodasi berbagai persepsi mengenai peristiwa tersebut dari kalangan bawah maupun atas. Dari pihak-pihak yang bertempur pada suatu perang saudara, maupun mereka yang hanya merasakan dampak negatifnya, dan seterusnya. Bersamaan dengan tumbuhnya minat untuk mempelajari benturan-benturan antara berbagai kebudayaan, bentuk-bentuk narasi dialogis nampaknya akan semakin kerap dipraktikkan di masa mendatang.

E.  HUBUNGAN ILMU  SEJARAH DENGAN ILMU-ILMU SOSIAL LAINNYA
1.                 Hubungan Sejarah dengan Sosiologi
Perkembangan akhir-akhir ini banyak sekali karya sosiologiwan diterbitkan yang berupa studi sosiologis mengenai gejala sosial atau sociofact di masa lampau, seperti Pemberontakan Petani karya Tilly, Perubahan Sosial masa Revolusi Industri di Inggris oleh Smelzer, dan Asal Mula Sistem Totaliter dan Demokrasi oleh Barrington Moore, yang kesemuanya itu disebut sebagai historical sociology „sejarah sosiologi‟ (Kartodidjo, 1992: 144). Adapun karakteristik dari historical sociology tersebut bahwa studi sosiologis mengenai suatu kejadian atau gejala di masa lampau yang dilakukan oleh para sosiologiwan. Di satu pihak, sekarang ini pun sedang terjadi apa yang disebut sociological history (sejarah sosiologis) yang menunjuk kepada sejarah yang disusun oleh sejarawan dengan pendekatan sosiologis. Akhir-akhir ini sedang terjadi pula apa yang disebut sebagai gejala Rapprochement atau proses saling mendekat antara ilmu sejarah dan ilmu-ilmu sosial. Metode kritis ini berkembang pesat sejak diciptakan oleh Mabilon sehingga terjadi inovasi- inovasi yang sangat penting dalam sejarah,yang mana dapat menyelamatkan sejarah dari “kemacetan” (Kartodirdjo, 1992:120). Sebab jika dipandang dari titik sejarah konvensional, perubahan metodologi tersebut sangat revolusioner dengan meninggalkan model penulisan sejarah naratif. Dikatakan revolusioner karena ilmu sejarah lebih bergeser ke ilmu sosial.Kombinasi antar berbagai perspektif akan mampu mengekstrapolasikan interdepedensi antara berbagai aspek kehidupan. Dalam hal ini, sejarawan tidak langsung berurusan dengan kausalitas, tetapi lebih banyak dengan kondisi-kondisi dalam berbagai dimensinya.

2.                 Hubungan Sejarah dengan Antropologi
Hubungan ini dapat dilihat karena kedua disiplin ini memiliki persamaan yang menempatkan manusia sebagai subjek dan objek kajiannya, lazimnya mencakup berbagai dimensi kehidupan. Dengan demikian, di samping memiliki titik perbedaan,  kedua disiplin  itu pun  memiliki persamaan. Bila sejarah membatasi diri pada penggambaran suatu peristiwa sebagai proses di masa lampau sebagai cerita secara „sekali terjadi‟, hal ini tidak termasuk bidang kajian antropologi. Namun jika penggambaran sejarah menampilkan suatu masyarakat di masa lampau dengan berbagai aspek kehidupan, termasuk ekonomi, politik, religi, dan keseniannya maka gambaran tersebut mencakup unsur-unsur kebudayaan masyarakat. Dalam hal itu ada persamaan bahkan tumpang tindih antara sejarah dengan antropologi (Kartodirdjo, 1992:153). Antropolog terkemuka Evans-Pritchard, ia mengemukakan bahwa Antropologi adalah sejarah. Karena antropologi mempelajari objek yang sama dengan sejarah, yaitu tiga jenis fakta yang terdiri atas artifact, sociofact, dan mentifact, di mana semuannya adalah produk historis dan hanya dapat dijelaskan eksistensinya dengan melacak sejarah perkembangannya (Kartodirdjo, 1992:153).

3.                 Hubungan Antropologi Budaya dengan Sejarah
Dapat dipahami terdapat dua hal yang penting. Pertama,makna kebudayaan telah semakin meluas karena semakin luasnya perhatian para sejarawan, sosiologiwan, mengkritisi sastra, dan lain-lain. Perhatian semakin dicurahkan kepada kebudayaaan popular, yakni sikap-sikap dan nilai-nilai masyarakat awam serta pengungkapannya ke dalam kesenian rakyat, lagu-lagu rakyat, cerita rakyat, festival rakyat, dan lain-lain (Burke, 1978;Yeo dan Yeo, 1981). Kedua, mengingat semakin luasnya makna kebudayaan semakin meningkat pula kecenderungan untuk menganggap kebudayaan sebagai sesuatu yang aktif, bukan pasif.

4.                 Hubungan Sejarah dengan Psikologi
Dalam cerita sejarah, aktor atau pelaku sejarah senantiasa mendapat sorotan yan tajam, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok. Sebagai aktor individu, tidak lepas dari peranan faktor-faktor internal yang bersifat psikologis, seperti motivasi, minat, konsep diri, dan sebagainya yang selalu berinteraksi dengan faktor-faktor eksternal yang bersifat sosiologis,seperti lingkungan keluarga, lingkungan sosial budaya,dan sebagainya.Begitu pun dalam  aktor  yang  bersifat  kelompok  menunjukkan  aktivitas  kolektif, yaitu suatu gejala yang menjadi objek khusus psikologi sosial.Dalam berbagai peristiwa sejarah, perilaku kolektif sangat mencolok, antara lain sewaktu ada huru hara, masa mengamuk (mob), gerakan sosial, atau protes yang revolusioner, semuannya menuntut penjelasan berdasarkan psikologi dari motivasi,sikap,dan tindakan kolektif (Kartodirdjo, 1992:139). Di situlah psikologi berperan untuk mengungkap beberapa faktor tersembunyi sebagai bagian proses mental.

5.                 Hubungan Sejarah dengan Geografi
Hubungan ini dapat dilihat dari suatu aksioma bahwa setiap peristiwa sejarah senantiasa memilki lingkup temporal dan spasial (waktu dan ruang). Di mana keduannya merupakan faktor yang membatasi fenomena sejarah tertentu sebagai unit (kesatuan), apakah itu perang, riwayat hidup,kerajaan,dan lain sebagainya (Kartodirdjo,1992:130). Mengenai kedekatan ilmu geografi dan sejarah Herodotus mengatakan bahwa sejarah dan geografi sudah demikian terkait, ibarat terkaitnya pelaku, waktu, dan ruang secara tepadu.Peranan spasial dalam geografi distrukturasi berdasarkan fungsi-fungsi yang  dijalankan menurut tujuan atau kepentingan manusia selaku pemakai. Kemudian,unit-unit fisik menjadi unsur-unsur struktural fungsional dalam sistem tertentu, ekonomi,sosial,politik, dan kultural. Sedangkan struktur dan fungsi itu bermakna dalam konteks tertentu, yang tidak lepas dari jiwa zaman atau gaya hidup masanya. Dengan demikian, peranan menjadi kesaksian struktur dalam kaitannya dengan periode waktu. Di sini hubungan dimensi geografi dengan sejarah yang tidak dapat dipisah-pisahkan secara kaku.

6.                 Hubungan Sejarah dengan Ilmu Ekonomi
Sepanjang masa modern, yaitu lebih kurang sejak 1500, kekuatan-kekuatan ekonomis yang sentripetal mengarah ke pemusatan pasar dan produksi ke Eropa Barat, suatu pola perekembangan yang hingga Perang Dunia II masih tampak. Dari pertumbuhan sistem ekonomi global yang kompleks itu menurut


Kartodirdjo (1992:137) dapat diekstrapolasikan beberapa tema penting antara lain:

  • Proses perkembangan ekonomi (economic development) dari sistem agraris ke sistem industrial, termasuk organisasi pertanian, pola perdagangan, lembaga-lembaga keuangan, kebijaksanaan komersial, dan pemikiran (ide) ekonomi;
  • Pertumbuhan akumulasi modal mencakup peranan pertanian, pertumbuhan penduduk, dan peranan  perdagangan internasional;
  • Proses industrialisasi beserta soal-soal perubahan sosialnya;
  • Sejarah ekonomi yang bertalian erta dengan permasalahan ekonomi, seperti kenaikan harga, konjungtur produksi agraris, ekspansi perdagangan, dan sebagainya;
  • Sejarah ekonomi kuantitatif yang mencakup antara lain Gross National Product (GNP) per capita income.
Dengan melihat hal-hal di atas, maka jelas bahwa kompleksitas sistem ekonomi dengan sendirinya menuntut pula pendekatan ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, antropologi, ilmu politik, dan lain sebagainya.Selanjutnya dalam perkembangan sejarah ekonomi mengalami pula diferensiasi dan subspesialisasi, antara lain dengan timbulnya sejarah pertanian; sejarah kota; sejarah bisnis; sejarah perburuhan; sejaraah formasi  kapital.

7.                 Hubungan Sejarah dengan Ilmu Politik
Politik adalah sejarah masa kini, dan sejarah adalah politik masa lampau. Dalam hal ini, menunjukkan proses yang mencakup keterlibatan para aktor dalam interaksinya serta peranannya dalam usaha memperoleh  “apa”, “kapan”, dan “bagaimana” (Kartodirdjo, 1992:148-149). Berbicara politik maka akan berhubungan dengan pola distribusi kekuasaan, kita tidak dapat melupakan faktor kultural sebagai penentu. Sebab jenis otoritas dan struktur kekuasaan sangat dipengaruhi oleh orientasi nilai-nilai dan pandangan hidup para pelaku sejarah.Dengan demikian, kerangka konseptual ilmu politik menyediakan  banyak  alat  untuk  menguraikan  beragai  unsur  politik, aspek politik, kelakuan aktor, nilai-nilai yang melembaga sebagai sistem politik, dan lain sebagainya (Kartodirdjo, 1992:150).

F.      KONSEP-KONSEP SEJARAH

Beberapa konsep yang dikembangkan dalam ilmu sejarah, seperti perubahan, peristiwa, sebab dan akibat, nasionalisme, kemerdekaan, kolonialisme, revolusi, fasisme, komunisme, peradaban, perbudakan, waktu, feminisme, liberalisme, dan konservatisme.

1.                 Perubahan
Konsep perubahaan merupakan istilah yang mengacu kepada sesuatu hal yang menjadi “tampil berbeda”.Konsep tersebut demikian penting dalam sejarah dan pembelajaran sejarah, mengingat sejarah itu sendiri pada hakikatnya adalah perubahan.Kita sering mendengar sindiran “Tidak ada di dunia  ini yang abadi, kecuali perubahan itu sendiri yang abadi”. Bahkan, seorang  futuris ternama Amerika Serikat Alvin Toffler (1981) mengemukakan bahwa “perubahan tidak sekadar penting dalam kehidupan, tetapi perubahan itu sendiri adalah kehidupan.

2.                 Peristiwa
Konsep peristiwa memiliki arti sebagai suatu kejadian yang menarik maupun luar biasa karena memilki keunikan. Dalam penelitian sejarah, peristiwa selalu menjadi objek kajian, mengingat salah satu karakteristik ilmu sejarah adalah mencari keunikan-keunikan yang terjadi pada peristiwa tertentu, dengan penekanan pada taradisi-tradisi relativisme.

3.                 Sebab dan Akibat
Istilah sebab merujuk kepada pengertian faktor-faktor determinan fenomena pendahulu yang mendorong terjadinya sesuatu perbuatan, perubahan, maupun peristiwa   berikutnya, sekaligus sebagai suatu kondisi yang mendahului peristiwa. Sedangkan akibat adalah sesuatu yang menjadikan kesudahan atau hasil suatu perbuatan maupun dampak dan peristiwa.

4.                 Nasionalisme
Konsep nasionalisme, secara sederhana memiliki arti rasa kebangsaan, di mana kepentingan negara dan bangsa mendapat perhatian besar dalam kehidupan bernegara.

5.                 Kemerdekaan/Kebebasan
Konsep kemerdekaan atau kebebasan adalah nilai utama dalam kehidupan politik bagi setiap negara dan bangsa maupun umat manusia yang senantiasa diagung-agungkan, sekalipun tidak selamanya dipraktikkan. Arti penting kemerdekaan ini dapat dilihat pada ketentuan yang mengatur hak-hak asasi manusia, sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Hak-Hak Manusia Universal yang disetujui dengan suara bulat oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tanggal 10 Desember 1948.

6.                 Kolonialisme
Konsep kolonialisme merujuk kepada bagian imperialisme dalam ekspansi bangsa-bangsa Eropa Barat ke berbagai wilayah lainnya di dunia sejak abad ke-15 dan 16.Pada puncak perkembangannya, kolonialisme merajalela pada abad ke-19. Di mana hampir setiap Negara Eropa memilki daerah jajahan di Asia, Afrika,dan Amerika.

7.                 Revolusi
Konsep Revolusi menunjuk pada suatu pengertian tentang perubahan sosial politik yang radikal, berlangsung cepat, dan besar-besaran.Revolusi terjadi ketika berbagai kesulitan perang dan krisis keuangan negara berhasil diatasi, namun memiliki institusi=institusi yang rentan terhadap revolusi. Skocpol yang mengidentifikasi tiga ciri kelembagaan yang menyebabkan kerentanan revolusi tersebut, yaitu


  1. Lembaga militer negara sangat inferior terhadap militer dari negara- negara pesaingnya;
  2. Elite yang otonom mampu menentang atau menghadang implementasi kebijaksanaan yang dijalankan pemerintahan pusat;
  3. Kaum petani memiliki organisasi pedesaan yang otonom.

8.                 Fasisme
Konsep fasisme atau facism adalah nama pengorganisasian pemerintahan dan masyarakat secara totaliter oleh kediktatoran partai tunggal yang sangat memiliki rasa nasionalis yang sempit, rasialis, militeristis, dan imperialis(Ebestein dan Fogelmen, 1990: 114)

9.                 Komunisme
Pada dasarnya, konsep dari istilah komunisme merujuk kepada setiap pengaturan sosial yang didasarkan pada kepemilikan, produksi, konsumsi,dan swapemerintahan yang diatur secara komunal atau bersama-sama (Meyer, 2000: 143).

10.            Peradaban
Konsep peradaban atau civilization merupakan konsep yang merujuk pada suatu entitas kultural seluruh pandangan hidup manusia yang mencakup nilai, norma, institusi, dan pola pikir terpenting dari suatu masyarakat yang terwariskan dari generasi ke generasi (Bozeman dalam Huntington, 1998: 41). Selain itu, peradaban menunjuk kepada suatu corak maupun tingkatan moral yang menyangkut penilaian terhadap totalitas kebudayaan. Jadi, peradaban jauh melebihi luasnya dari suatu kebudayaan yang saling memengaruhi.

11.            Perbudakan
Pada hakikatnya, konsep perbudakan atau slavery adalah suatu istilah yang menggambarkan suatu kondisi di mana seseorang maupun kelompok tidak memilki kedudukan dan peranan sebagai manusia yang memiliki hak asasi sebagai manusia yang layak.

12.            Waktu
Konsep waktu dalam hal ini (hari,tanggal,bulan,tahun,windu,dan ahad) merupakan konsep esensial dalam sejarah.Begitu pentingnya mengenai waktu yang digunakan baik pada riset historis dan empiris dalam perspektif kronologis, fungsionalis, strukturalis, maupun simbolis. Secara alternatif, ilmuwan atau sejarawan dapat menggunakan penempatan subjektif dari saat kemarin,sekarang, dan akan datang.Mengenai pentingnya pemahaman tentang waktu, menurut Sztompka (2004:58-59) terdapat enam fungsi waktu, yaitu (a) sebagai penyelaras tindakan;(b) sebagai koordinasi;(c) sebagai bagian dalam tahapan atau rentetan peristiwa;(d) menempati ketepatan;(e) menentukan ukuran;(f) untuk membedakan suatu masa tertentu dengan lainnya.

13.            Feminisme
Istilah feminisme adalah nama suatu gerakan emansipasi wanita dari subordinasi pria.Menurut Maggie Humm (2000:354), semua gerakan feminis mengandung tiga unsur asumsi pokok.Pertama, gender adalah suatu  konstruksi yang menekan kaum wanita sehingga cenderung menguntungkan pria.Kedua, konsep patriarki-dominasi kaum pria dalam lembaga-lembaga sosial-melandasi konstruk tersebut.Ketiga, pengalaman dan pengetahuan  kaum wanita harus dilibatkan untuk mengembangkan suatu masyarakat nonseksis di masa mendatang.
14.            Liberalisme
Konsep liberalisme mengacu kepada sebuah doktrin yang maknanya hanya dapat diungkapkan melalui penggunaan kata-kata sifat yang menggambarkan nuansa-nuansa khusus.
15.            Konservatisme

Istilah konservatisme merujuk kepada doktrin yang meyakini bahwa realitas suatu masyarakat dapat ditemukan pada perkembangan sejarahnya.Oleh karena itu, pemerintah membatasi diri dalam campur tangan terhadap perilaku kehidupan masyarakatnya, dalam arti tidak boleh melupakan akar-akar sejarahnya (Minogue,2000:1666).

G.     TEORI-TEORI SEJARAH

Teori merupakan unsur yang sangat esensial dalam kajian tentang  suatu fenomena, baik pada masa lalu maupun sekarang.Namun, untuk ilmu sejarah, kedudukan teori menimbulkan perdebatan sengit, terutama antara aliran empirisme dan idealisme, khususnya mengenai penerapan hukum umum (general law) dan teori generalisasi (generalizing theory).Namun adanya kontroversi mendasar antara dua aliran itu berimplikasi pada sedikitnya jumlah teori-teori sejarah yang dihasikannnya.

1.                 Teori Gerak Siklus Sejarah Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun (1332-1406) adalah seorang sejarawan dan filsuf sosial Islam kelahiran Tunisia yang merupakan penggagas pertama dalam teori siklus ini.

Adapun inti atau pokok-pokok pikiran dalam teori Khaldun tersebut dikemukakan dalam Al-Muqaddimah sebagai berikut.

  • Kebudayaan adalah masyarakat yang memiliki landasan di atas hubungan antara manusia dan tanah di satu sisi dan hubungan manusia dengan manusia lainnya di sisi lain yang menimbulkan upaya mereka untuk memecahkan kesulitan-kesulitan lingkungan serta mendapatkan kesenangan dan kecukupan dengan membangun industri, menyusun hukum, dan menertibkan transaksi
  • Bahwa kebudayaan dalam berbagai bangsa berkembang melalui empat fase, yaitu fase primitif atau nomaden, fase urbanisasi, fase kemewahan, dan fase kemunduran yang mengantarkan kehancuran.
  • Kehidupan fase primitif atau nomaden adalah bentuk kehidupan manusia terdahulu  (tertua)  yang  penah  ada.  Pada  masa   ini,  sifat kehidupan kasar yang diwarnai oleh keberanian dan ketangguhan mendorong mereka untuk menundukkan kelompok-kelompok lain. Selain itu, pada masa ini pun pada kelompok-kelompok tersebut tumbuh solidaritas, ikatan, dan persatuan yang menopang mereka meraih kekuasaan dan kesenangan.
  • Dalam fase urbanisasi, pembangunan yang mereka lakukan tetap berlangsung sehingga perkembangan kebudayaan semakin maju, khususnya di kota-kota.
  • Pada fase kemewahan, banyak kelompok yang tenggelam dalam masa kemewahan, di mana pada fase ini dicirikan oleh beberapa indicator, seperti ketangguhan dalam mempertahankan diri, memperoleh kemewahan dalam kekayaan, keinginan untuk hidup bebas, serta mengejar nafsu kepuasan dan kesenangan, namun di pihak lain ada juga yang menghendaki pada kesederhanaan. Akibatnya, friksi dan solidaritas mereka menjadi melemah.
  • Pada fase kemunduran, kerajaan dan pemerintahan melalaikan urusan kenegaraan/pemerintahan dan kemasyarakatan yang mempercepat kehancuran, ditandai dengan ketidakmampuan dalam mempertahankan diri. Ini pertanda bahwa usainya daur cultural dalam sejarrahnya dan bermulanya daur baru, begitu seterusnya (Al-Sharqawi, 1886:145- 146).
  • Biasanya kelompok-kelompok yang terkalahkan akan  selalu mengekor kepada kelompok-kelompok yang menang, baik dalam slogan, pakaian, kendaraan, maupun tradisi lainnya.

2.                 Teori Daur Kultural Spiral Giambattista Vico
Nama filsuf sejarah Italia, Giambattista Vico (1668-1744). Secara Makro, pokok-pokok pikiran Vico yang tertuang dalam teori daur spiralnya dalam The New Science (Downs, 1961: 113;Al-Sharqawi, 1986: 147-148) sebagai berikut.

  • Perjalanan sejarah bukanlah seperti roda yang berputar mengitari dirinya sendiri sehingga memungkinkan seorang filsuf meramalkan terjadinya hal yang sama pada masa depan.
  • Sejarah berputar dalam gerakan spiral yang mendaki dan selalu memperbaharui diri, seperti gerakan pendaki gunung yang mendaki melalui jalan melingkar ke atas, setiap lingkaran selanjutnya lebih tinggi dari lingkaran sebelumnya sehingga ufuknya pun semakin luas dan jauh.
  • Masyarakat manusia bergerak melalui fase-fase perkembangan tertentu dan terjalin erat dengan kemanusiaan yang dicirikan oleh gerak kemajuan dalam tiga fase, yaitu fase teologis, fase herois, dan fase humanistis.
  • Ide kemajuan adalah substansial, mesti tidak melalui satu perjalanan lurus ke depan, tetapi bergerak dalam lingkaran-lingkaran historis  yang satu sama lain berpengaruh. Dalam setiap lingkaran pola-pola budaya yang berkembang dalam masyarakat, baik agama, politik, seni, sastra, hukum, maupun filsafat saling terjalin secara organis dan internal sehingga masing-masing lingkaran itu memiliki corak kultural, khususnya yang merembes ke dalam berbagai ruang lingkup kulturalnya (Collingwood, 1956: 67).
3.                 Teori Tantangan dan Tanggapan Arnold Toynbee
Arnold Toynbee (1889-1975) adalah seorang sejarawan Inggris, ia pendukung teori siklus lahir-tumbuh-mandek-hancur. Pokok-pokok pikiran dari teori tantangan (challenge and response) tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut.

  • Menurut Toynbee, terdapat 21 pusat peradaban di dunia, misalnya peradaban Mesir kuno, India, Sumeria, Babilonia, dan peradaban Barat atau Kristen. Enam peradaban muncul serentak dari masyarakat primitif yang berasal dari Mesir, Sumeria, Cina Maya, Minoa (di P. Kreta),  dan India.  Masing-masing  muncul  secara  terpisah dari yang lain dan terlihat di kawasan luas yang terpisah. Semua peradaban lain berasal dari enam peradaban asli itu. Sebagai tambahan, sudah ada  tiga peradaban gagal, yaitu peradaban Kristen Barat Jauh, Kristen Timur Jauh, dan Skandinavia, dan lima peradaban yang masih bertahan, yaitu Polinesia, Eskimo, Nomadik,Ottoman, dan Spartan.
  • Peradaban muncul sebagai tanggapan (response) atas tantangan (challenge), walaupun bukan atas dasar murni hukum sebab akibat, melainkan hanya sekadar hubungan, dan hubungan itu dapat terjadi antara manusia dan alam atau antara manusia dan manusia.
  • Sebagai contoh, peradaban Mesir muncul sebagai hasil tanggapan yang memadai atas tantangan yang berasal dari rawa dan hutan belantara lembah Sungai Nil, sedangkan peradaban lain muncul dari tantangan konflik antar kelompok.
  • Berjenis-jenis tantangan yang berbeda dapat menjadi tantangan yang diperlukan bagi kemunculan suatu peradaban.
  • Terdapat lima kawasan perangsang yang berbeda bagi kemunculan peradaban, yakni kawasan ganas, baru, diperebutkan, ditindas, dan tempat pembuangan.
  • Kawasan ganas, mengacu kepada lingkungan fisik yang sukar ditaklukan, seperti kawasan lembah S. Hoang Ho (Toynbee, 1961:88). Kawasan baru, mengacu kepada daerah yang belum pernah dihuni  dan diolah. Kawasan diperebutkan, termasuk yang baru ditaklukan dengan kekuatan militer. Kawasan tertindas, menunjukkan suatu situasi ancaman dari luar yang berkepanjangan. Kawasan hukuman atau pembuangan, mengacu kepada kawasan tempat kelas dan ras yang secara historis telah menjadi sasaran penindasan, diskriminasi, dan eksploitasi.
  • Antara tantangan dan tanggapan berbentuk kurva linear. Artinya, tingkat kesukaran yang cukup besar dapat membangkitkan tanggapan memadai; tetapi tantangan ekstrem dalam arti terlalu lemah dan terlalu keras, tidak  memungkinkan  dapat  membangkitkan  tanggapan yang memadai. Jika tantangan terlalu keras, peradaban dapat hancur atau terhambat perkembangannya. Dalam kasus seprti itu, tantangan memiliki cukup kekuatan untuk mencegah perkembangan normal, meskipun tidak cukup keras sehingga menyebabkan kehancurannya.
  • Untuk terciptanya suatu tanggapan yang memadai, kriteria pertama adalah keras atau lunaknya tantangan. Kriteria kedua, kehadiran elite kreatif yang akan memimpin dalam memberikan tanggapan atas tantangan itu. Sebab seluruh tindakan sosial adalah karya individu- individu pencipta atau yang terbanyak karya minoritas kreatif itu (Toynbee, 1961:214). Namun, kebanyakan umat manusia cenderung tetap terperosok ke dalam cara-cara hidup lama. Oleh karena itu, tugas minoritas kreatif bukanlah semata-mata menciptakan bentuk-bentuk proses sosial baru, tetapi juga menciptakan cara-cara barisan belakang yang mandek itu bersama-sama dengan mereka untuk mencapai kemajuan (Toynbee, 1961:215).

4.                 Teori Dialetika Kemajuan Jan Romein
Jan Marius Romein adalah teoretisi dan sejarawan Belanda (1893-1962) yang pertama kalinya melihat gejala lompatan dalam sejarah umat manusia sebagai suatu kecenderungan umum dalam kemajuan maupun keberlanjutan. Adapun pokok-pokok pikiran teori Jan Romen tersebut sebagai berikut.

  • Gerak sejarah umat manusia itu kebalikan dari perkembangannya secara berangsur-angsur (evolusi), melainkan maju dengan lompatan- lompatan yang sebanding dengan mutasi yang dikenal dalam dunia alam hidup biologis.
  • Suatu langkah baru dalam evolusi manusia, kecil kemungkinannya terjadi dalam masyarakat yang telah mencapai tingkat kesempurnaan yang tinggi dalam arah tertentu. Sebaliknya, kemajuan yang pernah dicapai di masa lalu, mungkin akan berlaku sebagai suatu penghambat terhadap kemajuan lebih lanjut (Wertheim, 1976:58). Sebab suasana yang puas diri dan adannya kepentingan yang bercokol pada kelompok itu cenderung  menentang  langkah-langkah lebih  jauh  yang mungkin menyangkut    suatu    perombakan    menyeluruh    terhadap    lembaga- lembaga atau perlengkapan yang sudah ada.
  • Dengan demikian, keterbelakangan dalam hal-hal tertentu dapat dijadikan sebagai susatu keunggulan (situasi yang menguntungkan) untuk mngejar ketinggalannya. Sebaliknya, kemajuan yang relatif  pesat di masa lalu, dapat berlaku sebagai penghambat kemajuan. Inilah yang dinamakan Dialetika Kemajuan (Dialetictics of Progress).

5.                 Teori Despotisme Timur Wittfogel
Karl Wittfogel, penulis buku Oriental Despotism (1957) mengemukakan teori-teorinya sebagai berikut.

  • Cara produksi Asiatis, menurut pendapatnya yang khas pada masyarakat-masyrakat yang berdasarkan irigasi besar-besaran, telah menimbulkan suatu garis lain dalam perspektif evolusi.
  • Masyarakat-masayrakat hidrolis, tidak hanya dicirikan oleh irigasi, tetapi dalam hal-hal tertentu oleh bangunan drainase besar-besaran adalah tipikal Despotisme Timur yang menjalankan perintah dengan kekuasaan total oleh suatu birokrasi yang bercabang luas dan terpusat, serta secara tajam mesti dibedakan dari masyarakat feodal, seperti dikenal dalam masyarakat di Eropa Barat dan Jepang.
  • Bila masyarakat-masyarakat feodal memungkinkan suatu perkembangan menuju kapitalisame borjuis maka birokrasi-birokrasi Asiatis itu (mencakup Tsar Rusia) sama sekali tidak cocok bagi perkembangan apa pun menuju suatu struktur yang lebih modern.
  • Struktur-struktur politik baru yang dilahirkan di kerajaan-kerajaan Despotis Timur di masa lalu (Rusia dan Cina), sebenarnya tidak dapat dipandang sebagai suatu subtipe dari suatu masyarakat modern atau sebagai sesuatu yang baru, melainkan hanya merupakan salinan- salinan dari despotisme-despotisme Timur tradisional, di mana kemungkinan-kemungkinan  untuk  menjalankan  kekuasaaan   mutlak dan teror, telah berkembang hingga tingkat yang luar biasa tingginya (Wittfogel, 1957:438).
  • Doktrin ini bermaksud menunjukkan bahwa Uni Soviet (sekarang Rusia) maupun Cina tidak dapat menawarkan apa pun yang mungkin diinginkan oleh bangsa-bangsa lain, jalan satu-satunya kearah kemajuan adalah mengikuti garis peradaban modern yang berdasarkan hak milik. Menurut Wittfogel, garis ini tampaknya tidak lagi menuju pada sosialisme, melainkan hanya bergerak menuju suatu masyarakat polisentrisme dan demokratis, di mana kompleks-kompleks birokrasi yang lebih besar saling mengendalikan satu sama lain (Wittfogel, 1957:366-367), dan jika meminjam istilah Karl Popper, hal itu memalukan masyarakat terbuka.
6.                 Teori Perkembangan Sejarah dan Masyarakat Karl Marx
Karl Heinrich Marx (1818-1883) dilahirkan di Trier distrik Moselle, Prusian Rhineland pada 5 Mei 1818. Teori-teorinya tentang gerak sejarah dan masyarakat, tertuang dalam Die Deutch Ideologie (Ideologi Jerman) tahun 1845-1846, secara ringkas dapat dikemukakan sebagai berikut.

  • Struktur ekonomi masyarakat yang ditopang oleh relasi-relasinya dengan produksi, merupakan fondasi riil masyarakat. Struktur tersebut sebagi dasar munculnya suprastruktur hukum dan politik, berkaitan dengan bentuk tertentu dari kesadaran sosial. Di sisi lain, relasi-relasi produksi masyarakat itu sendiri berkaitan dengan tahap perkembangan tenaga-tenaga produktif materiil (masyarakat). Dalam kerangka ini, model produksi dari kehidupan materiil akan mempersiapkan proses kehidupan sosial, politik, dan intelektual pada umumnya.
  • Seiring dengan tenaga produktif masyarakat berkembang, tenaga- tenaga produktif ini mengalami pertentangan dengan berbagai relasi produksi yang ada sehingga membelenggu pertumbuhannya. Kemudian, mulailah suatu era revolusi sosial, seiring dengan terpecahnya masyarakat akibat konflik.
  • Konflik-konflik itu terselesaikan sedemikian rupa sehingga menguntungkan tenaga-tenaga produktif, lalu muncul relasi-relasi produksi yang baru dan lebih tinggi persyaratan materiilnya telah matang dalam “rahim” masyarakat itu sendiri. Masyarakat dan pemerintahan kelas memang tidak terhindarkan, sekaligus diperlukan untuk memaksa produktivitas para produsen agar melampaui tingkat substensinya. Namun, kemajuan produktif yang dihasilkan kapitalisme tersebut menghancurkan kelayakan dan landasan histories pemerintahan kelas, Karena negara merupakan alat suatu kelas untuk mengamankan pemerintahannya maka negara akan melemah dalam masyarakat pascakelas.
  • Relasi-relasi produksi yang lebih baru dan lebih tinggi ini mengakomodasi secara lebih baik keberlangsungan pertumbuhan kapasitas produksi masyarakat. Di sinilah model produksi borjuis mewakili era progresif yang paling baru dalam formasi ekonomi masyarakat, tetapi hal itu merupakan bentuk produksi antagonistik yang terakhir. Dengan matinya bentuk produksi tersebut maka prasejarah kemanusiaan berakhir.
  • Di sinilah kapitalisme akan hancur oleh hasratnya sendiri untuk meletakkan masyarakat pada tingkat produktif yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Selain itu, perkembangan tenaga-tenaga produktif yang membayangkan munculnya kapitalisme  sebagai respons terhadap tingkat tenaga produktif pada awal mula terbentuk.
  • Dengan demikian, perkembangan kapasitas produktif masyarakat menentukan corak utama evolusi yang dihasilkan, yang pada  gilirannya menciptakan institusi-institusi hukum dan politik masyarakat atau suprastruktur.
7.                 Teori Feminisme Wollstonecraft
Mary Wollstonecraft dilahirkan di Inggris tahun 1759. Isi pokok pemikiran (teori) Wollstonecraft adalah sebagai berikut.


  1. Salah satu ciri yang paling universal sekaligus mencolok adalah subordinasi wanita atas pria. Sekalipun saat ini banyak kemajuan- kemajuan politik dan budaya yang diperolehnya, masyarakat tetap menempatkan wanita sebagai subordinat posisi pria.
  2. Dalam beberapa segi, Hal itu disebabkan oleh kaum wanita itu yang berprasangka buruk terhadap kapabilitas bakat-bakat dan kapasitas- kapasitas mereka sendiri sebuah pandangan yang diajukan oleh banyak penulis dan pemikir pembenci wanita
  3. Padahal pria dan wanita sama-sama mampu bernalar dan memperbaiki diri. Meskipun demikian, kapasitas wanita bagi tindakan rasional dan bagi keseluruhan sejati, telah dikurangi oleh beragamnya institusi sosial dan tuntutan-tuntutan budaya.
  4. Masyarakat dan kaum pria telah membatasi kesempatan-kesempatan yang dimiliki wanita untuk menggunakan kemampuan alaminya bagi kebaikan masyarakat.
  5. Keluhuran-keluhuran jinak dan kesenangan-kesenangan hampa telah mendorong kaum wanita berfokus pada penyanjungan dan penyenangan pria yang dapat menjauhkan wanita untuk berkontribusi pada kehidupan moral, budaya,dan politik.
  6. Wanita tidak boleh memiliki status inferior, sekalipun penyebabnya oleh kaum wanita itu sendiri yang begitu pasrah menerima citra mereka yang tidak menguntungkan diri.
  7. Semakin baik pendidikan mereka, semakin baik wanita menjadi warga negara, istri, dan ibu. Wanita terdidik adalah orang-orang yang lebih rasional dan lebih luhur.
loading...

Postingan terkait: